Minggu, 07 Agustus 2011

Ada Apa dengan Pendiikan Kita?

Suasana Belajar Di SDN 3 Waylaga
Ujian nasional (UN) adalah sebuah persoalan yang terjadi setiap tahun, mirip seperti banjir yang terjadi di beberapa daerah (Jakarta khususnya) dan tidak pernah selesai-selesai. Selalu terulang lagi. Sementara petinggi Negara ini sibuk dengan urusan politik kekanak-kanakan mereka.

Persoalan utama adik-adik siswa SD sampai tingkat SMA saat ini adalah menghadapi UN. Mereka selalu merasa tegang, was-was, khawatir, seolah2 menghadapi sesuatu lawan tangguh yang sangat kuat. Mereka rela mengeluarkan sedemikian banyak biaya untuk les, baik berupa privat maupun mengikuti lembaga2 pendidikan luar, dan bertempur melawan musuhnya yang bernama UN.

Aku jadi heran, seolah UN itu adalah tujuan akhir dari sekolah mereka, sangat jauh berbeda dari tujuan pendidikan nasional yg sebenarnya. Beberapa teman-teman guru juga sibuk mempersiapkan anak didiknya untuk menghadapi UN tersebut. Muncul juga image bahwa prestasi sebuah sekolah saat ini adalah jika sekolah itu mampu menunjukkan bahwa siswa yg mengikuti UN itu lulus 100%. Bahkan tidak sedikit sekolah yang melakukan kecurangan-kecurangan agar siswanya dapat lulus.

Dalam pasal 57 ayat 1 Undang-undang Sisdiknas dinyatakan bahwa "Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan". Pasal 63 ayat 1 PP 19 tahun 2005 yang merupakan penafsiran resmi terhadap UU Sisdiknas berbunyi "Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas (1) penilaian hasil belajar oleh pendidik, (2) penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan, dan (3) penilaian hasil belajar oleh pemerintah.

Pada dasarnya, UN hanyalah sebuah alat evaluasi, untuk mengetahui sejauh mana pencapaian siswa dalam proses pembelajaran. Tidak bisa dipungkiri bahwa evaluasi memiliki berbagai macam cara, dan UN hanyalah salah satu cara dalam sebuah evaluasi. Toh, pada saat lulus dari SD, mereka harus melewati tes lagi agar bias memasuki SMP yang dituju, begitu juga seterusnya, hingga pada tingkat mahasiswa.

Saat SBY menajbat sebagai presiden, kebijakan pemerintah terhadap pendidikan adalah perbahan kurikulum dari kurikulum 1994 mejadi KBK. Pada hakikatnya, dasar pemikiran penggunaan KBK adalah berangkat dari pandangan konstruktivisme yang menekankan adanya konstruksi pada pikiran manusia dalam memperoleh pengetahuan. Menurut Hudojo (1998:7-8) ciri-ciri pembelajaran dalam pandangan konstrukstivisme adalah sebagai berikut:
(1) Menyediakan pengalaman belajar dengan mengkaitkan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sedemikian rupa sehingga belajar melalui proses pembentukan pengetahuan.
(2) Menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar, tidak semua mengerjakan tugas yang sama, misalnya suatu masalah dapat diselesaikan dengan berbagai cara.
(3) Mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi yang realistik dan relevan dengan melibatkan pengalaman konkrit, misalnya untuk memahami suatu konsep belajar melalui kenyataan kehidupan sehari-hari.
(4) Mengintegrasikan pembelajaran sehingga memungkinkan terjadinya transmisi sosial yaitu terjadinya interaksi dan kerja sama seseorang dengan orang lain atau dengan lingkungannya, misalnya interaksi dan kerjasama antara siswa, guru, dan siswa-siswa.
(5) Memanfaatkan berbagai media termasuk komunikasi lisan dan tertulis sehingga pembelajaran menjadi lebih efektif.
(6) Melibatkan siswa secara emosional dan sosial sehingga belajar menjadi menarik dan siswa mau belajar.

Melihat faham konstruktivisme di atas, evaluasi justru tergantung dari guru yang bersangkutan (yang mengajar) karena guru lah yang lebih mengetahui kondisi siswanya. Bukan pemerintah dan jajaran DIKNAS. Guru adalah pemimpin dalam sebuah kelas, dan memiliki tanggung jawab besar untuk mengarahkan anak didiknya ke arah pendidikan moral, nilai, serta sopan santun.

Namun guru tidak mendapatkan perhaian sedikitpun dalam menetukan kebijakan pendidikan nasional. Anehnya, ketika terjadi persoalan kenakalan remaja, (misalnya tawuran antar sekolah, narkoba, seks, dan lainnya) guru yang disalahkan. Belum lagi guru memiliki persoalan lainnya, seperti kualitas pendidikan, prasarana sekolah, atau bahkan termasuk ekonomi keluarga (yg kadang menuntutnya ikut ngojek), sehingga guru tidak lagi sempat berfikir untuk mendidik siswanya ke arah pencerdasan bangsa.

Kembali kepada persoalan UN di atas. UN menjadi penting karena ia menentukan kelulusan siswa. Alat evaluasi lainnya terabaikan. Pembukaan UUD 45 yang menghembuskan nafas mencerdaskan bangsa menjadi tidak terlaksana sama sekali. Apalagi pendidikan moral, sopan santun, dan segala hal yang berhubungan dengan nilai kemanusiaan, jelas terbuang jauh, karena yang ada kini adalah berupaya, bagaimana siswa bisa lulus UN, meski melakukan kecurangan sekalipun.

Saya sangat setuju, UN tetap diadakan, tetapi tidakkah sebaiknya fungsi UN dirombak, bukan sebagai penetu kelulusan, melainkan sebagai alat evalusasi penetuan standar kependidikan. Sehingga, jangan sampai UN menjadi lading korupsi legal yang menghabiskan biaya sangat besar, namun menghasilkan persolan lain yang justru menghancurkan moral bangsa ini.

Menutup tulisan ini, sekedar kembali merenungkan peristiwa lalu. Ketika Jepang mengalami krisis pada saat PD II, akibat bom yang menghanguskan Hirosima dan Nagasaki, yang dilakukan oleh pemerintah Jepang saat itu adalah mengelola pendidikan, dan melakukan berbagai cara agar pendidikan tetap berlangsung. Dalam jangka waktu singkat, Jepang kembali bangkit menjadi Negara maju.

Indonesia yang merdeka pada tahun yang sama, hingga saat ini masih carut-marut, bahkan mengalami kemunduran dalam berbagai bidang. Rakyatnya dididik untuk malas, malas belajar dan malas bekerja, dan itu tiada lain karena system pendidikan kita yang selalu menyimpang dari hakikat pendidikan itu sendiri.

Pendidikan selalu dibebani oleh berbagai hal, terutama oleh dunia politik, sehingga pendidikan menjadi beban tersendiri bagi yang melaksanakannya. Di satu sisi, banyak anak-anak yang ingin sekolah, tetapi tidak sedikit pula anak yang sekolah, mengeluh capek dan malas-malasan. Ada apa dengan dunia pendidikan kita?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar